Akibat menolak diangkat menjadi hakim, Abu Hanifah ditangkap. Ulamak ahli hukum Islamitu pun di penjara. Sang penguasa rupanya marah besar hingga menjatuhkan hukuman yang berat. Dalam penjara, ulamak besar itu setiap hari mendapat siksaan dan pukulan. Abu Hanifahsedih sekali. Yang membuatnya sedih bukan karena siksaan yang diterimanya, melainkan kerana cemas memikirkan ibunya. Beliau sedih kerena kehilangan waktu untuk berbuat baik kepada ibunya.
Setelah masa hukumannya berakhir, Abu Hanifah dibebaskan. Dia bersyukur dapat bersamaibunya kembali.
"Ibu, bagaimana keadaanmu selama aku tidak ada?" tanya Abu Hanifah.
"Alhamdulillah. .....ibu baik-baik saja," jawab ibu Abu Hanifah sambil tersenyum.
Abu Hanifah kembali menekuni ilmu agama Islam. Banyak orang yang belajar kepadanya.
Akan tetapi, bagi ibu Abu Hanifah dia tetap hanya seorang anak. Ibunya menganggap Abu Hanifah bukan seorang ulamak besar. Abu Hanifah sering mendapat teguran. Anak yang taat itu pun tak pernah membantahnya.
Suatu hari, ibunya bertanya tentang wajib dan sahnya solat. Abu Hanifah lalu memberijawapan. Ibunya tidak percaya meskipun Abu Hanifah berkata benar.
"Aku tak mau mendengar kata-katamu, " ucap ibu Hanifah.
"Aku hanya percaya pada fatwa Zar'ah Al-Qas," katanya lagi.
Zar'ah Al-Qas adalah ulama yang pernah belajar ilmu hukum Islam kepada Abu Hanifah. "Sekarang juga hantarkan aku ke rumahnya,"pinta ibunya.
Mendengar ucapan ibunya, Abu Hanifah tidak kesal sedikit pun. Abu Hanifah menghantaribunya ke rumah Zar'ah Al-Qas.
"Saudaraku Zar'ah Al-Qas, ibuku meminta fatwa tentang wajib dan sahnya solat," kataAbu Hanifah begitu tiba di rumah Zar'ah Al-Qas.
Zar'ah Al-Qas hairan kenapa ibu Abu Hanifah harus jauh-jauh datang ke rumahnya hanya untuk pertanyaan itu? Bukankah Abu Hanifah sendiri seorang ulamak? Sudah pasti putranya itu dapat menjawab dengan mudah.
"Tuan, anda kan seorang ulamak besar? Kenapa Anda harus datang padaku?" tanya Zar'ahAl-Qas.
"Ibuku hanya mahu mendengar fatwa dari anda," sahut Abu Hanifah.
Zar'ah tersenyum, "Baiklah, kalau begitu jawabanku sama dengan fatwa putra anda," kata Zar'ah Al-Qas akhirnya.
"Ucapkanlah fatwamu," kata Abu Hanifah tegas.
Lalu Zar'ah Al-Qas pun memberikan fatwa. Bunyinya sama persis dengan apa yang telahdiucapkan oleh Abu Hanifah. Ibu Abu Hanifah bernafas lega.
"Aku percaya kalau kau yang mengatakannya, " kata ibu Abu Hanifah puas. Padahal,sebetulnya fatwa dari Zar'ah Al-Qas itu hasil ijtihad (mencari dengan sungguh-sungguh) putranya sendiri, Abu Hanifah.
Dua hari kemudian, ibu Abu Hanifah menyuruh putranya pergi ke majlis Umar bin Zar.Lagi-lagi untuk menanyakan masalah agama. Dengan taat, Abu Hanifah mengikutiperintah ibunya. Padahal, dia sendiri dapat menjawab pertanyaan ibunya dengan mudah.
Umar bin Zar merasa aneh. Hanya untuk mengajukan pertanyaan ibunya, Abu Hanifahdatang ke majlisnya.
"Tuan, andalah ahlinya. Kenapa harus bertanya kepada saya?" kata Umar bin Zar.
Abu Hanifah tetap meminta fatwa Umar bin Zar sesuai permintaan ibunya.
"Yang pasti, hukum membantah orang tua adalah dosa besar," kata Abu Hanifah.
Umar bin Zar termangu. Dia begitu kagum akan ketaatan Abu Hanifah kepada ibunya.
"Baiklah, kalau begitu apa jawapan atas pertanyaan ibu anda?"
Abu Hanifah memberikan keterangan yang diperlukan.
"Sekarang, sampaikanlah jawapan itu pada ibu anda. Jangan katakan kalau itu fatwaanda," ucap Umar bin Zar sambil tersenyum.
Abu Hanifah pulang membawa fatwa Umar bin Zar yang sebetulnya jawapannya sendiri.Ibunya mempercayai apa yang diucapkan Umar bin Zar.
Hal seperti itu terjadi berulang-ulang. Ibunya sering menyuruh Abu Hanifah mendatangi majlis-majlis untuk menanyakan masalah agama. Abu Hanifah selalu menaati perintah ibunya. Ibunya tidak pernah mahu mendengar fatwa dari Abu Hanifah meskipun beliau seorang ulamak yang sangat pintar.
Sumber: Kisah-kisah Teladan
No comments:
Post a Comment